SUKSES MENGELOLA HALAQAH (bag.1)
Semoga menginspirasi... ^_^
Oleh : Samsul Basri, S.Si, M.E.I
A.
Muqaddimah
Manhaj At-Taghyiir (metode perubahan) dalam Islam diawali dengan taghyiiru
al-qaaidah (perubahan masyarakat). Perubahan masyarakat dilakukan melalui at-tarbyah
dengan dua tahapan at-tarbiyyatu al-‘ammah (Tarbiyah yang sifatnya
umum) dan at-tarbiyyatu al-khashshah (sifatnya khusus).
At-tarbiyatu al-‘ammah bertujuan melahirkan masyarakat yang pro
dengan perjuangan islam dan tidak menentang kehidupan sunnah yang nampak secara
dzhahir, meskipun mereka belum berafiliasi penuh dalam wadah perjuangan Islam.
Bentuk-bentuk kegiatan yang sifatnya pengembangan dari tarbiyah ini adalah
ta’lim, pengajian umum, tabligh akbar, daurah, pesantren kilat, kultum,
ceramah, dlsb.
At-tarbiyyatu al-khashshah bertujuan melahirkan pelanjut tongkat estafet
perjuangan, berafiliasi penuh dalam perjuangan Islam, menjadi qudwah
dalam akhlak, dan bangga dengan kehidupan Islami atau singkatnya terealisasi 5M
(mukmin, mushlih, mujahid, muta’aawin, mutqin) dalam hidup dan
kehidupannya. Adapun bentuk-bentuk tarbiyah ini adalah i’daadu
addu’aat, tadribu addu’aat, liqaau tarbawiy atau halaqah tarbiyah, dlsb.
Bila dua tahapan ini tidak terealisasikan di
tengah-tengah masyarakat maka yang terjadi adalah lahirnya generasi yang
mengabaikan aspek ibadah, halal haram bukan lagi takaran dalam urusan dunia, syahwat
diperturutkan bahkan dipertuhankan. Allah Azza Wa Jalla berfirman :
فَخَلَفَ مِنْ
بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ
يَلْقَوْنَ غَيًّا
“Maka datanglah sesudah
mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan
hawa nafsunya, Maka mereka kelak akan menemui kesesatan” (QS. Maryam : 59)
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda
;
يأتي على الناس زمان ما يبالي الرجل
من أين أصاب المال من حلال أو حرام.
“Akan datang atas manusia
suatu masa dimana orang-orang tidak lagi peduli darimana mereka mendapatkan
harta, apakah dari yang halal ataukah yang haram” (HR. Bukhari dan Nasai)
Ali bin Abi Thalib radhiyallaahu ‘anhu dalam
atsarnya mengatakan :
إذا كان العالم لا يعمل بعلمه استنكف
الجاهل أن يتعلم
“Sekiranya orang yang
berilmu tidak mau mengajar dengan ilmunya niscaya orang yang jahil (bodoh) akan
merasa sombong untuk belajar”
Namun diantara dua tahapan tarbiyah tersebut,
tarbiyah khususlah yang lebih utama, sebagaimana yang dilakukan oleh nabi shallallaahu
‘alaihi wasallam di awal-awal dakwahnya. Yaitu mempersiapkan generasi
rabbaniy lewat halaqah tarbiyah di rumah seorang sahabat yang mulia Arqam Ibnu
Abil Arqam. Dari halaqah tarbiyah itulah beliau shallallaahu ‘alaihi
wasallam mendidik sahabat dengan satu manhaj, lalu mengumpulkan mereka
dengan ilmu dan pemahaman dan terakhir menghinpun mereka menjadi ummat yang
terbaik.
Keberadaan Halaqah tarbiyah yang
merupakan salahsatu bentuk At-tarbiyyatu al-khashshah memiliki urgensi
yang sangat besar mulai dari tahapan pencarian mutarabbi atau al-bahats,
ta’arruf (pengenalan), ta’alluq (merasa senang dan tenang), targhib (memberi motivasi) sampai
akhirnya tasykiil (membentuk kepribadiaannya lewat halaqah). Dan karena
itu risalah ini akan menjelaskan mengenai hakekat tarbiyah berdasarkan
makna kata yang membangunnya, menggali nilai-nilai sukses mengelola halaqah tarbiyah
dari beberapa ayat-ayat Qur’aniyyah, dan menyebutkan tips mengelola halaqah
sukses dan produktif pada tulisan kami yang kedua.
B.
Makna dan Hakekat Tarbiyah
Syaikh Abdurrahman Al-Bani dalam kitabnya مدخل إلى تربية في ضوء الإسلام menjelaskan
bahwa kata tarbiyah berasal dari tiga kata ربا , kemudian kata ربي dan رب .[1]
Pertama, tarbiyah berasal dari kata ربا – يربو
rabaa - yarbuu artinya نما – ينمو namaa - yanmuu (bertambah dan tumbuh
menjadi besar).
Kedua, tarbyah diambil dari kata ربي – يربى rabiya – yarbaa
artinya naik, menjadi besar/dewasa, tumbuh dan berkembang.
Ketiga, tarbiyah digali dari kata رب – يرب rabba – yarubbu artinya أصلحه aslahahu (memperbaikinya), تولى أمره tawalla amrahu (mengurusi perkaranya),
ساسه saasahu (melatih, mengatur, memerintah), قام عليه qaama ‘alaihi (menjaga, mengamati,
membantu), رعاه ra’aahu (memeliharanya).
Imam al-baidhawi di dalam tafsirnya yang
berjudul anwaarut tanziil wa asraarut ta’wil menjelaskan bahwa Ar-Rabbu
asalnya bermakna tarbiyah, yaitu menyampaikan sesuatu sedikit demi
sedikit menuju kesempurnaannya, kemudian Allah disifati dengannya sebagai
bentuk mubalaghah (lebih/ sangat).[2]
Menurut DR. Muhammad Abdullah Darraz di dalam
kitabnya Kalimat fii Mabaadi ‘Ilmil Akhlak bahwa tarbiyah adalah
menjaga sesuatu dan memeliharanya dengan menambah dan menguatkan, dan
memeganginya di atas jalan kematangan dan kesempurnaan yang susuai dengan
tabiatnya.[3]
Dari berbagai defenisi di atas dapat disimpulkan bahwa:
1.
Sesungguhnya murabbi sebenarnya adalah Allah Ta’ala
karena Dia-lah yang Maha Pencipta, menciptakan fitrah dan memberikan
karunia-karunia, dan Dia-lah yang membukakan jalan bagi tumbuhnya fitrah,
berkembang secara bertahap dan berinteraksinya fitrah. Sebagaimana Allah
membuat syariat untuk mewujudkan kesempurnaan dan kebaikan serta kebahagiaan
mahluk.
2.
Tarbiyah harus mengambil penerangan dari cahaya syariat Allah dan
berjalan sesuai hukum-hukum dan kebaikan-Nya.
3.
Tarbyah itu adalah tindakan yang memiliki tujuan, sasaran dan
puncak.
4.
Tarbiyah mengharuskan
rencana-rencana tertib, yang sebagiannya diiringi sebagian yang lain, sebagiannya
tegak di atas sebagian yang lain. Setiap rencana itu tegak di atas rencana
sebelumnya dan menyiapkan rencana sesudahnya. Sehingga kegiatan-kegiatan tarbiyah
serta ta’lim berjalan sesuai dengan aturan yang tertib dan maju, membawa
seseorang berkembang dari satu fase ke fase yang lainnya, dari satu tahapan ke
tahapan lainnya, dalam segala hal.
5.
Sesungguhnya pebuatan murabbi mengiringi dan mengikuti yang Allah ciptakan,
sebagaimana hal itu mengikuti syariat Allah, agama-Nya dan hukum-hukum-Nya.
Dari kesimpulan ini tergambar jelas bahwa pada dasarnya
hakekat tarbiyah dan pengaruhnya terangkum dalam tiga landasan :
1.
Tarbiyah harus diperioritaskan untuk membangkitkan aqidah tauhid,
dan membersihkan kehidupan umat dari bid’ah dan kurafat, sebagai langkah awal
mempersiapkan ummat mengemban Islam yang kedua kalinya.
2.
Ukuran tarbiyah
yang benar adalah tegaknya di atas landasan-landasan yang diambil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah,
dan selaras dengan prkatek salaf.
3.
Tarbiyah tidak mungkin dipisahkan dari tarbiyatul ‘ammah
bimbingan umum masyarakat, dan hal itu berkaitan dengan kehidupan sehari-hari
mereka, dan perkara-perkara yang mempengaruhinya, yaitu keyakinan, norma, adat,
kebiasaan, politik dan sebagainya.
Maka barang siapa yang telah memahami dan menjaga dasar ini
niscaya dia mengetahui dengan sebenarnya makna tarbiyah dan hakekatnya.
Dan dia meyakini bahwa tarbiyah yang diinginkan adalah men-tarbiyah
generasi yang sedang tumbuh di atas Islam yang telah dibersihkan dari berbagai bid’ah
dan kurafat. Dengan tarbiyah yang benar semenjak mudanya, dan tidak
terpengaruh tarbiyah ala Barat yang menyimpang.
C.
Nilai-nilai Qur’aniyyah mengelola Halaqah Sukses
1.
Kandungan surah Al-Ahzab ayat 72 :
إِنَّا عَرَضْنَا الأمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ
وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا
الإنْسَانُ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولا
“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada
langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu
dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh
manusia. Sesungguhnya manusia itu Amat zalim dan Amat bodoh” (QS. Al-Ahzab : 72)
Dalam tafsir As-sa’di dijelaskan bahwa Amanah yang dimaksudkan dalam ayat
ini adalah: [4]
هي امتثال الأوامر،
واجتناب المحارم، في حال السر والخفية، كحال العلانية
Maka tarbyah merupakan amanah yang
harus diemban dan dijalankan dengan sungguh-sungguh tidak dengan kedzaliman dan
tidak dengan kebodohan. Dalam ayat ini Allah mentabiatkan manusia bahwa “Sesungguhnya manusia itu Amat zalim dan Amat bodoh”. Artinya
selama manusia tetap dalam kedzaliman dan kebodohan, maka mereka tidak akan
mampu mengemban amanah yang merupakan kewajiban bagi mereka. Lantas siapakah
yang tidak melakukan kedzaliman dan kebodohan? Sedangkan Ibnu Mas’ud radhiyallahu
‘anhu berkata: “Setiap mukmin sudah ditabiatkan memiliki kekurangan
kecuali khiyanat dan dusta”.[5]
Jawabannya terdapat dalam surah Al-qashash
ayat 26 dan surah Yusuf ayat 55. Di surah al-qashash ayat 26 berbunyi :
قَالَتْ إِحْدَاهُمَا يَا أَبَتِ
اسْتَأْجِرْهُ إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الأمِينُ
“Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya
bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena Sesungguhnya
orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang
kuat lagi dapat dipercaya.” (QS. Al-Qashash : 26)
Hamka dalam tafsirnya mengutip tafsir Ibnu Katsir menjelaskan bahwa Menurut
satu riwayat dari Umar bin Khattab, Ibnu Abbas, Syuraih al-Qadhi, Abu Malik,
Qatadah dan Muhammad bin Ishaq dan beberapa perawi yang lain, ayah tua itu
(Nabi Syu’aib ‘alaihi as-salam) bertanya kepada anak perempuannya itu,
dari mana dia mengetahui lalu menarik kesimpulan bahwa pemuda itu mempunyai
kedua sifat penting itu. Sang anak menjelaskan bahwa tutup sumur yang terbuat
dari batu dapat diangkatnya seorang diri padahal penutup itu selama
pengamatannya diangkat sekurangnya sepuluh orang. Kemudian lanjutnya, bahwa
pemuda itu bersikap sangat sopan ketika dia dijemput. Tidak tampak pada
wajahnya atau sinar matanya tanda nafsu serakah melihat perempuan. Dengan
demikian nyatalah selain dia mempunyai kekuatan luar biasa, dia pun dapat
dipercaya.[6]
As-Sa’di menambahkan bahwa dua sifat terbaik
itu adalah kekuatan dan kemampuan untuk melakukan apa yang dibebankan
kepadanya, dan amanah dalam pekerjaannya diwujudkan dengan cara tidak
berkhianat.[7]
Sedangkan di surah Yusuf
ayat 55 berbunyi :
قَالَ اجْعَلْنِي عَلَى خَزَائِنِ
الأرْضِ إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ (٥٥)
“Berkata Yusuf: Jadikanlah aku bendaharawan negara
(Mesir); Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan". (QS.Yusuf :55)
Dari dua surah ini ditarik kesimpulan bahwa sesorang tidak akan beratbiat
melakukan kedzaliman apabila dia memiliki prinsip yang teguh, karakter yang
kuat, pribadi yang sehat dan memiliki kejujuran yang tinggi yang jauh dari
sifat khianat. Dan seseorang tidak akan bertabiat dengan kebodohan apabila dia
berilmu. Sehingga halaqah sukses dan produktif bukanhal yang mustahil tercapai
apabila Murabbi atau murabbiah jauh dari dua tabiat buruk ini yaitu dzalim dan
jahil.
2.
Kandungan
surah Yusuf ayat 108 :
قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى
اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا
أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Katakanlah: Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang
mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata,
Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik." (QS.Yusuf : 108)
Ibnu Katsir
menjelaskan dalam tafsirnya : [8]
يقول [الله] تعالى لعبد ورسوله إلى
الثقلين: الإنس والجن، آمرًا له أن يخبر الناس: أن هذه سبيله، أي طريقه ومسلكه
وسنته، وهي الدعوة إلى شهادة أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، يدعو إلى الله
بها على بَصِيرة من ذلك، ويقين وبرهان، هو وكلّ من اتبعه، يدعو إلى ما دعا إليه
رسول الله صلى الله عليه وسلم على بصيرة ويقين وبرهان شرعي وعقلي
Syaikh Utsaimin Rahimahullahu Ta’ala menjelaskan bahwa ‘ala bashiratin (dengan hujjah yang nyata ) terangkum di
dalamnya tiga prisnsip pokok dalam dakwah :[9]
أن يكون على بصيرة فيما يدعو إليه
(Mengilmui apa yang ia dakwahkan)
أن يكون على بصيرة بحال المدعو
(Mengilmui kondisi objek dakwah)
أن يكون على بصيرة في كيفية الدعوة
(Mengilmui cara
berdakwah)
Dalam ayat ini Allah berfirman “dan orang-orang yang mengikutiku” . siapakah
umat rasulullah yang dengan sukarela akan mengembang amanah dakwah dan
tarbiyah?. Jawabannya terdapat dalam surah Ali Imran ayat 31. Allah berfirman :
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي
يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai
Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu."
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali Imran : 31)
Jadi nilai-nilai yang terkandung dalam surah
Yusuf ayat 108 bagi Murabbi adalah :
Meniti jalan dakwah dan Tarbyah berarti meniti jalan para
ambiyaai ‘alihim assalam. Dan lebih khusus jalan yang ditapaki oleh
Rasulullah Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam sejak bi’tsah sampai
menjelang wafat.
Tarbiyah adalah implementasi Dakwah. Karena itulah
tujuan tarbyah adalah mengajak kepada Allah dan bukan kepada selain-Nya.
Aktivitas dakwah atau tarbyah harus dijalankan
secara terus menerus dan berkesinambungan karena shighah fi’il yang digunakan
adalah fi’lu almudhari’ (أَدْعُو ).
Dakwah atau tarbiyah itu ditegakkan untuk mendekatkan manusia kepada kebaikan bukan malah menjauhkan
mereka dari kebaikan. Sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam kepada Muadz dan
Abu Musa :
“ يسرا ولا تعسرا، بشرا ولا تنفرا “(Muttafaqun Ilaihi).
·
Dan terakhir bersungguh sungguh dalam keberlangsungan
tarbyah apalagi menjadi murabbi yang mutqin (profesional) merupakn indikasi
benarnya cintanya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam.
[1]
Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid
al-Halaby al-Atsari, Attashfiyah wat Tarbiyah, Solo : Pustaka Imam
Bukhari, 2002, hlm. 129.
[2]
Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid al-Halaby al-Atsari, Attashfiyah
wat Tarbiyah, Solo : Pustaka Imam Bukhari, 2002, hlm. 134.
[3] Ibid.
[4] Abdurrahman bin Nashir bin Abdullah As-sa’di, Taysiiru Al- kariim
Ar-Rahman Fii Tafsiiri Kalaami Al-Mannaan, Muassasah Arrisalah, 2000, hlm.
673.
[5]
Al-Syifaa 1/215. Al-Ithaaf 7/518.
[6]
Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jilid 7, Singapura : Pustaka Nasional Pte
Ltd, 2003 hlm. 5322.
[7]
Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di, Tafsir Al-Qur’an, Jilid 5, Jakarta
: Pustaka Sahifa, 2012 hlm. 398
[8]
Ibnu Katsir, Tafsir Alqur’anul Adzhim,
Jilid 4, Daaru At-Tayyibah, 1999 hlm. 422
[9]
Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Ashshahwah
Al-Islamiyyah dhawaabit wa at-Taujiihaat, Arab Saudi : Daarul Wathan, 2005.
Komentar